KONTRIBUSI MEDIKAL “SIMBOK JAMU” :Pemeliharaan Kesehatan Tubuh Ala Jawa

March 20, 2020 Leave a comment

Oleh : M. Dwi Cahyono

Mbok jamu mbok jamu
Lenggang luwes dan kemayu
Mbok jamu mbok jamu
Ada apa di bakulmu

Minum jamu tiap hari
Hilang sakit hilang nyeri
Minum jamu tiap hari
Badan sehat dan berseri

Jamunya jeng…, jamu beras kencur
Biar badan gemuk subur
Jamunya jeng…, jamu kunir asem
Biar badan sehat ayem

Jamunya mas…, jamu daun kates
Biar tidur nyenyak pules
Jamunya cabe lempuyang
Buat kepala yang puyeng

(Lirik lagu anak “Mbok Jamu”,
Pencipta lagu : Magda R.)

Read more…
Categories: Uncategorized

Bagaimana cara memulai meditasi untuk pemula?

February 28, 2020 Leave a comment

Than ajahn: Pertama-tama Anda harus mengembangkan perhatian. Anda harus dapat mengendalikan pikiran Anda. Hentikan pikiran Anda sebanyak mungkin. Secara umum, ada dua metode yang kita gunakan untuk mengembangkan perhatian. Metode pertama adalah membaca mantra. Terus baca mantra terlepas dari apa yang Anda lakukan. Terus baca mantra setiap kali Anda melakukan kegiatan yang tidak perlu berpikir, seperti ketika Anda mandi, mencuci pakaian, makan. Ini adalah kegiatan yang tidak perlu dipikirkan. Ketika pikiran ingin berpikir tanpa tujuan, Anda menggunakan mantra untuk menghentikannya. Apapun mantranya atau ucapannya..

Metode kedua adalah mengamati apa yang dilakukan tubuh Anda. Misalnya, ketika Anda makan, Anda harus mengamati dari waktu Anda menyendok makanan, menaruh makanan di mulut Anda, mengunyahnya dan menelannya. Dan kemudian, mengulanginya lagi: Sendok makanan, letakkan di mulut, mengunyah makanan dan menelannya. Anda harus memperhatikan hal ini untuk menghentikan pikiran Anda dari berpikir. Ini adalah metode kedua mengembangkan perhatian, dengan terus berkonsentrasi pada apa yang Anda lakukan. Ketika Anda memiliki tingkat perhatian ini, ketika Anda duduk, Anda akan dapat mengamati napas Anda sebagai objek konsentrasi Anda. Terus mengamati napas di ujung hidung Anda di mana udara masuk dan meninggalkan tubuh. Itu masuk dan meninggalkan tubuh di ujung hidung. Terus mengamati nafas pada saat itu.

Jangan ikuti napas masuk. Jangan ikuti napas keluar. Terus mengamatinya. Jangan mengatur napas. Jangan memaksakan napas untuk menjadi pendek atau panjang. Biarkan napas saja. Napas kemudian akan berubah secara alami. Ketika Anda pertama kali mulai, napas akan singkat. Ketika pikiran menjadi damai dan tenang, dan ketika tubuh beristirahat, napas akan lebih lama dan lebih lembut.

Sadarilah. Tahu apa napasnya. Jangan mengatur napas. Gunakan napas sebagai jangkar untuk menghentikan pikiran Anda dari memikirkan hal-hal lain. Jika Anda dapat melakukan ini, pikiran Anda pada akhirnya akan menjadi diam dan sangat bahagia. Kemudian, Anda tahu bahwa kebahagiaan sejati ada di dalam diri Anda. Anda tidak perlu pergi dan mencari hal lain untuk membuat Anda bahagia jika Anda bisa berhasil dalam meditasi Anda.

“Dhamma dalam Bahasa Inggris, 25 Apr 2018.”
Oleh Ajahn Suchart Abhijāto http://www.phrasuchart.com

Categories: life style Tags: ,

Perjanjian Sabdopalon – Syeh Subakir

May 17, 2015 Leave a comment

Tiknan Tasmaun
25 Jan 2013 | 10:54

Konon ada semacam perjanjian antara Sabdopalon sebagai Pamomong (Danyang Gaib) Tanah Jawa dengan Syeh Subakir sebagai penyebar Agama Islam generasi awal di Jawa ini. Tersebutlah kisah tersebut dalam tulisan lontar kuno. Lontar tersebut diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak – tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.

Cerita tentang kisah ini pernah dipentaskan sebagai lakon wayang kulit bergenre wayang songsong (wayang kulit yang berisi cerita hikayat dan legenda Jawa) yang digelar di Desa Drajad, Paciran, Lamongan ( sebuah desa tempat situs Sunan Drajad ).

Read more…

Categories: Uncategorized

Ronggowarsito pupuh 257

February 26, 2015 Leave a comment

Pupuh 257 (tembang 28 s/d 44) :

Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.

Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.

Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira.

Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.

Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa.

Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan banyak orang miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.

Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga.

Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan / perampokan dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang melintang di jalan-jalan.

Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa.

Alampun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi.

Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming wardaya.

Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada rasa tenteram di hati.

Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar silastuti titi tata.

Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.

Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda.

Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah / kesulitan.

Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak-cakrak.

Para pemimpin mengatakan seolah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.

Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.

Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat, dan berbeda-beda tingkah laku / pendapat orang se-negara.

Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya sandi samurana.

Disertai dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun kemungkinan dicemooh, mencoba untuk melihat tanda-tanda yang tersembunyi dalam peristiwa ini.

Anaruwung, mangimur saniberike, menceng pangupaya, ing pamrih melok pakolih, temah suha ing karsa tanpa wiweka.

Berupaya tanpa pamrih.
Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang mangkono yen niteni lamampahan.

Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya / yang akan terjadi bisa jadi peringatan.

Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.

Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.

Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.

Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.

Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.

Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).

Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman Kaladuka, sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan memaronira.

Pada saat itu sudah dekat berakhirnya zaman Kaladuka.

#elinglanwaspodo

Categories: Uncategorized

KEYAKINAN BUKANLAH PENGETAHUAN (MENGETAHUI)

Kutipan tulisan RT Wijayantodipuro, Salatiga, 27 Agustus 2012 yg sdh di-edit (disingkat) :

Mengetahui bentrokan yg terjadi (lagi) antara komunitas Syiah dengan komunitas Sunni di Madura. Maka terbersitlah dipikiranku bhw KEYAKINAN itu sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Jika ingin tahu KEYAKINAN orang lain, tanyakan saja dan mengapa sampai pada KEYAKINAN tersebut. Jika merasa COCOK boleh ikut YAKIN, jika TIDAK COCOK tidak perlu ikut.
Read more…

Categories: Uncategorized

SEJARAH RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT YANG DI SEMBUNYIKAN PEMERINTAH

March 5, 2014 Leave a comment

RUNTUHNYA MAJAPAHIT

 

Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.

 

Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.

 

Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.

 

Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiwa dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta ( Wilwotikto

).

 

Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!
Read more…

Categories: Uncategorized

Madah Doa

July 25, 2013 Leave a comment

PUJI bagi Khalik Yang Kudus, yang telah menempatkan arasy-Nya di atas perairan, dan yang telah menjadikan segala makhluk di bumi. Kepada langit telah Ia berikan kekuasaan dan kepada bumi kepatuhan; kepada langit telah Ia berikan gerak dan kepada bumi ketenangan yang tetap.

Ia tinggikan angkasa di atas bumi bagai tenda tanpa tiang-tiang penyangga. Dalam enam masa Ia ciptakan ketujuh kaukab dan dengan dua huruf1 Ia ciptakan kesembilan kubah langit.

Pada mulanya Ia sepuh bintang-bintang dengan emas, hingga di rnalam hari langit dapat bermain triktrak.

Dengan berbagai sifat Ia anugerahi jaringan tubuh, dan telah ditaruh-Nya debu pada ekor burung jiwa.2

Lautan Ia jadikan cair sebagai tanda pengabdian, dan puncak-puncak gunung pun bertudung salju karena takut kepada-Nya.

Ia keringkan dasar laut, dan dan batu-batunya Ia hasilkan manikam-manikam mirah, dan dari darah-Nya, wangi kesturi.

Kepada gunung-gunung telah Ia berikan puncak-puncak sebagai golok dan lembah-lembah sebagai ikat pinggang; maka gunung-gunung itu pun menegakkan kepala dengan bangga.

Kadang Ia jadikan kelompok-kelompok mawar timbul dari wajah api.3

Kadang Ia bentangkan titian melintang wajah perairan.4

Dibuat-Nya seekor nyamuk menggigit Nimrod, musuh-Nya, yang menderita empat ratus tahun karenanya.5

Dalam kearifan-Nya Ia menyuruh laba-laba membuat sarang untuk melindungi yang tertinggi di antara manusia.6

Ditekan-Nya pinggang semut hingga semut itu serupa sehelai rambut dan dijadikan-Nya semut itu kawan bagi Sulaiman.7

Read more…

Musuh Terbesarmu

June 28, 2013 Leave a comment

Jika bukan karena perkasanya keakuanmu sendiri,
yang telah menyergapmu dari dalam,
takkan penghadang dari luar diri
mampu mencelakaimu.

Karena tuntutan syahwatmu,
hatimu telah tersandera oleh kerakusan,
cinta-dunia dan niat-buruk.

Sekian lama terpenjara didalam dirimu sendiri,
engkau berubah menjadi pencuri rakus,
yang semakin lemah dihadapan kuasanya.

Simaklah nasehat Sang Nabi nan bijak-bestari:
“Musuh terbesarmu berada diantara ke dua sisimu.”

Sumber:
Rumi: Matsnavi  III: 4063 – 4066
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
Categories: Uncategorized

Sirrul Assrar dari Syeikh Abdul Qadir Jailani 13/27

April 20, 2012 Leave a comment

TABIR CAHAYA DAN KEGELAPAN

Allah berfirman: “Sesiapa yang buta di dunia buta juga di akhirat”. (Surah Bani Israil, ayat 72).

Bukan buta mata yang di kepala tetapi buta mata yang di hati yang menghalang seseorang daripada melihat cahaya hari akhirat. Firman Allah: “Bukan matanya yang buta tetapi hatinya yang di dalam dada”. (Surah Hajj, ayat 46).

Hati menjadi buta disebabkan oleh kelalaian, yang membuat seseorang lupa kepada Allah dan lupa kepada kewajipan mereka, tujuan mereka, ikrar mereka dengan Allah, ketika mereka masih berada di dalam dunia. Sebab utama kelalaian adalah kejahilam terhadap hakikat (kebenaran) undang-undang dan peraturan Tuhan. Apa yang menyebabkan seseorang itu berterusan di dalam kejahilam ialah kegelapan yang menyeluruh menutupi seseorang dari luar dan sepenuhnya menguasai batinnya. Sebahagian daripada nilai-nilai itu yang mendatangkan kegelapan ialah sifat-sifat angkuh, sombong, megah, dengki, bakhil, dendam, bohong, mengumpat, fitnah dan lain-lain sifat keji. Sifat-sifat yang keji itulah yang merendahkan ciptaan Tuhan yang sangat baik sehingga jatuh kepada tahap yang paling rendah.

Untuk membebaskan seseorang daripada kejahatan itu dia perlu menyucikan dan menyinarkan cermin hatinya. Penyucian ini dilakukan dengan mendapatkan pengetahuan, dengan beramal menurut pengetahuan itu, dengan usaha dan keberanian, melawan ego diri, menghapuskan yang banyak pada diri, mencapai keesaan. Perjuangan ini berterusan sehingga hati menjadi hidup dengan cahaya keesaan – dan dengan cahaya keesaan itu mata bagi hati yang suci akan melihat hakikat sifat-sifat Allah di sekeliling dan pada dirinya.

Hanya selepas itu baharu kamu ingat akan kediaman kamu yang sebenar yang darinya kamu datang. Kemudian kamu akan ada rasa kerinduan dan keinginan untuk kembali kepada rumah kediaman yang sebenar, dengan pertolongan Yang Maha Mengasihani roh suci pada diri kamu akan menyatu dengan-Nya.

Bila sifat-sifat kegelapan terangkat cahaya mengambil alih tempatnya dan orang yang memiliki mata rohani akan melihat. Dia mengenali apa yang dia lihat dengan cahaya nama-nama sifat Ilahiah. Kemudian dirinya dibanjiri oleh cahaya dan bertukar menjadi cahaya. Cahaya ini masih lagi hijab menutupi cahaya suci Zat, tetapi masanya akan sampai bila ini juga akan terangkat, yang tinggal hanya cahaya suci Zat itu sendiri.

Hati mempunyai dua mata, satu yang sempat dan satu lagi yang luas. Dengan mata yang sempat seseorang boleh melihat kenyataan sifat-sifat dan nama-nama Allah. Penglihatan ini berterusan sepanjang perkembangan kerohaniannya. Mata yang luas melihat hanya kepada apa yang dijadikan kelihatan oleh cahaya keesaan dan yang esa. Hanya bila seseorang sampai kepada daerah kehampiran dengan Allah dia akan melihat, di dalam alam penghabisan bagi kenyataan Zat Allah, Yang Esa dan Mutlak.

Bagi mencapai makam-makam ini ketika masih di dalam dunia, di dalam kehidupan ini kamu mestilah membersihkan diri kamu daripada sifat-sifat keduniaan, yang ego dan keegoan. Jarak yang kamu mengembara di dalam kenaikan kamu ke arah makam-makam tersebut bergantung kepada sejauh mana kamu mengasingkan diri daripada hawa nafsu yang rendah dan ego diri kamu.

Pencapaian kamu kepada matlamat yang kamu inginkan bukanlah seperti barang kebendaan sampai ke tempat kebendaan. Ia juga bukan ilmu yang membawa seseorang kepada sesuatu yang menjadi diketahui (daripada tidak tahu), juga bukan pertimbangan yang memperolehi apa yang difikirkan, bukan juga khayalan yang menyatu dengan apa yang dikhayalkan. Matlamat yang kamu ingin capai ialah kesedaran tentang ketiadaan (kekosongan) kamu daripada segala sesuatu kecuali Zat Allah. Pencapaian ini adalah perubahan suasana yang terjadi, bukan perubahan pada sesuatu yang nyata. Di sana tiada jarak, tiada dekat atau jauh, tiada kesampaian, tiada ukuran, tiada arah, tiada ruang.

Dia Maha Besar, segala puji untuk-Nya. Dia Maha Pengampun. Dia menjadi nyata dalam apa yang Dia sembunyikan daripada kamu. Dia menyatakan Diri-Nya sebagaimana Dia melabuhkan tirai di antara Dia dengan kamu. Pengenalan tentang Diri-Nya tersembunyi di dalam ketidakupayaan mengenali-Nya.

Jika ada di antara kamu yang sampai kepada cahaya yang diterangkan dalam buku ini ketika kamu masih lagi berada di dalam dunia, buatlah muhasabah (hisab) terhadap diri kamu, buku catatan kamu tentang amalan kamu. Hanya di bawah cahaya kamu boleh melihat apa yang kamu sudah buat dan sedang buat; buat kiraan kamu, seimbangkannya. Kamu akan membaca buku catatan kamu di hadapan Tuhan kamu pada hari pembalasan. Itu adalah muktamad. Kamu tidak ada peluang mengimbanginya di sana . Jika kamu lakukan di sini ketika kamu masih ada masa, kamu akan termasuk ke dalam golongan yang diselamatkan. Jika tidak azab dan seksa menjadi bahagian kamu di akhirat. Hidup ini akan berakhir. Di sana ada azab di dalam kubur, ada hari pembalasan, ada neraka yang menimbang sehingga kepada dosa yang paling kecil dan kebaikan yang paling kecil. Kemudian ada jambatan yang lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada mata pedang, penghujungnya ialah taman, sementara di bawahnya ialah neraka yang penuh dengan kecelakaan, penderitaan, semuanya adalah berkekalan apabila kehidupan yang singkat ini berakhir.

Categories: Uncategorized

TAFSIR SUFISTIK tentang “CAHAYA” Studi Atas Kitab Misykât al-Anwâr Karya al-Ghazâlî

April 20, 2012 Leave a comment

Pengantar

Sarjana-sarjana Muslim telah banyak menghasilkan karya-karya agung di bidang tafsir, dari masa klasik, seperti Jâmi‘ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân karangan al-Thabarî, Mafâtîh al-Ghayb karangan Fakhr al-Din al-Râzî, dan al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Ta’wîl karangan Mahmûd al-Zamakhsyârî, hingga modern, seperti Fî Zhilâl al-Qur’ân karangan Sayyid Quthb, Tafsîr al-Marâghî karangan Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Mîzân karangan ‘Allamah al-Thabathaba’i, dan di Indonesia sendiri seperti Tafsir al-Mishbâh, karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Berbagai metoda dan pendekatan telah dilakukan oleh mereka, dan telah memperkaya secara signifikan, khazanah penafsiran al-Qur’ân yang kita miliki selama ini.

Dalam artikel ini, saya ingin mencoba membahas sebuah tafsir al-Qur’ân yang bercorak sufistik, yang di sini akan diwakili oleh Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâlî (w. 1111) dalam kitabnya yang berjudul Misykât al-Anwâr.[1] Kajian ini, menurut saya, penting sebagai sebuah upaya memperluas wawasan para santri tafsir al-Qur’ân, dengan menyadari bahwa al-Qur’ân ternyata bisa dan telah didekati dari berbagai perspektif. Memang selama ini tafsir al-Qur’ân pada umumnya dilakukan secara tekstual, yakni dengan mengambil makna lahiriah ayat-ayat yang sedang dikajinya. Namun, seperti yang akan saya tunjukkan nanti, ternyata keserjanaan Islam telah melahirkan juga karya-karya yang berusaha menyingkap makna batin yang tersembunyi dari ayat-ayat tertentu al-Qur’an.

Misykât al-Anwâr adalah salah satu contoh yang representative dari karya jenis ini. Selain itu, Misykât al-Anwâr adalah kitab, yang bukan saja besar karena nama pengarangnya Abu Hâmid al-Ghazâlî, tetapi juga karena pengaruhnya yang sangat menentukan atas para pemikir Muslim yang dating kemudian, khususnya para filosof Isyrâqî[2] dan Sufi.

Sekilas tentang Kitab Misykât al-Anwâr

Kitab Misykât al-Anwâr adalah kitab mistik-filosofis karya Imam al-Ghazâlî, untuk seseorang yang ia sapa sebagai “saudara yang mulia” (al-akh al-karîm),[3] yang dipandang khawwâs (orang-orang khusus) oleh beliau. Pada masa itu, pembagian orang-orang kepada kategori ‘awwâm (orang kebanyakan) dan khawwâsh (orang-orang khusus) telah berlaku umum. Bahkan al-Ghazâlî memberi kategori ketiga, yaitu khawwâsh a-khawwâsh.[4] Menurut al-Ghazâlî, karya-karya mistik-filosofis seperti Misykât al-Anwâr ini, tidak boleh tembus ke tangan awam, tetapi tidak boleh juga disembunyikan kepada orang khawwash, apalagi khawwash-al-khawwash. Nah karena orang yang bertanya tentang ini, masuk kategori khawwash (bahkan mungkin khawwash al-khawwash), maka al-Ghazâlî tidak berkeberatan, dan lalu memutuskan untuk menulis karya ini untuknya. Karena kepada orang seperti itu kebenaran tidak boleh ditutup-tutupi.

Hal lain yang menarik dari Misykât al-Anwâr ini, adalah sifatnya yang sangat filosofis. Tidak seperti dalam kitab Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn, di mana ia banyak berbicara tentang hati –terutama kitab ‘Ajâ’ib al-Qulûb-nya– dalam karya ini, al-Ghazâlî berbicara dengan begitu respeknya tentang daya rasional, yang disebut akal. Akal, misalnya dipandang lebih cocok disebut sebagai cahaya dibanding dengan indera. Bahkan ia menyebut akal sebagai contoh dari cahaya Tuhan.[5] Kenyataan ini telah menimbulkan kecurigaan di kalangan para ahli al-Ghazâlî, khususnya Montgomery Watt, kalau-kalau Misykât al-Anwâr bukan karya asli al-Ghazâlî, tetapi sebuah karya orang lain yang dinisbatkan kepadanya.[6] Terlepas dari benar-tidaknya, atau, otentik-tidaknya karya ini sebagai karya al-Ghazâlî, namun dari sudut isinya karya ini tetap sangat menarik, baik untuk para sarjana tafsir, tasawuf, maupun filsafat Islam. Di sini pengaruh teori psikologi filosofis seperti yang dikembangkan Ibn Sina[7] cukup kentara.

Poin terakhir yang ingin disampaikan berkenaan dengan kitab ini adalah berkaitan dengan struktur atau komposisi dari karya ini. Pada dasarnya karya ini dibagi ke dalam dua bagian besar; pertama berkenaan dengan tafsir cahaya sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Nûr [24]: 35 yang terkenal itu. Di sini, bahkan judul buku Misykât al-Anwâr itu sendiri, menurut saya, terinspirasi oleh ayat ini, yang memuat di dalamnya kata “misykât” (yang artinya ceruk/niche) sebagai salah satu cahaya yang diberikan Tuhan kepada manusia, di samping yang lainnya. Bagian kedua berkenaan dengan hijab yang ada mengantarai Tuhan dengan hamba-Nya, dan ini merupakan penjelasan atau tafsir sufistik terhadap sebuah hadits Nabi yang mengatakan “Allah memiliki tujuh puluh hijab cahaya dan kegelapan. Kalau hijab ini tersingkap kepada mereka niscaya keagungan wajah-Nya akan membakar siapa saja yang matanya memandang-Nya.”[8] Namun, dalam bagian pertama, sebelum ia berbicara secara terperinci tentang tafsir cahaya ini, al-Ghazâlî mendiskusikan secara panjang lebar makna kata “cahaya. Sedangkan pada bagian kedua, ia menjelaskan secara komprehensif satu persatu dari tujuh puluh hijab yang disinggung dalam hadits tersebut. Namun dalam artikel ini pembahasan hanya akan dibatasi pada bagian pertamanya saja, yang berkenaan dengan tafsir al-Ghazâlî atas Q.S. al-Nur [24]: 35.

Tafsir al-Ghazâlî atas Q.S. al-Nûr [24]: 35.

Bagian pertama dari Misykât al-Anwâr jelas merupakan upaya Imam al-Ghazâlî al-Ghazâlî untuk menafsirkan Q.S. al-Nûr [24]: 35 yang artinya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti relung atau ceruk (misykât/niche) yang di dalamnya ada sebuah lampu (mishbâh), sedangkan lampu tersebut berada di dalam kaca (zujâjah). Adapun kaca tersebut adalah ibarat bintang-bintang gemerlap yang disulut dari sebuah pohon yang diberkati; sebuah pohon zaitun yang bukan Timur, bukan pula Barat, tetapi yang minyaknya akan menyala sekalipun tidak tersenuth oleh api. Cahaya di atas cahaya. Tuhan membimbing dengan cahayanya itu siapa-siapa yang dikehendakinya. Ia memberi berbagai perumpamaan kepada manusia. Ia Maha Tahu segala sesuatu.”

Di bawah ini akan didiskusikan tafsir al-Ghazâlî terhadap ayat di atas, khususnya yang berkenaan dengan beberapa istilah seperti nûr, misykât, mishbâh, zujâjah, syajarah mubârakah, al-zayt dan nûr ‘alâ nûr.” Cahaya didefinisikan oleh beliau sebagai sesuatu yang terang atau tampak (al-zhâhir) pada dirinya dan bisa membuat yang lain terang atau tampak (al-muzhhir).”[9] Cahaya menurutnya memiliki beberapa tingkatan, dan berbagai istilah yang terdapat dalam ayat di atas adalah juga merupakan tingkat-tingkat cahaya yang dimiliki manusia dengan mana manusia terbimbing kepada kebenaran atau Tuhan. Di sini, ia menyandarkan filsafat hirarki cahayanya pada ungkapan yang ada dalam ayat di atas, “nûr ‘alâ al-nûr.”[10]

Menafsirkan ungkapan “Allah adalah cahaya langit dan bumi,” al-Ghazâlî mengatakan bahwa Allah-lah satu-satunya yang bisa disebut cahaya, dalam arti yang sebenarnya, dan dalam hal ini Ia adalah unik dan tidak ada padanannya. Adapun cahaya-cahaya yang lain bisa disebut cahaya hanya secara alegoris (majâzî).[11] Hanya Allah yang betul-betul ada, sedangkan keberadaan yang selain Allah adalah pinjaman, dan karena itu bukan wujud pada dirinya, tetapi wujud karena yang lain.

Al-Ghazâlî menafsirkan istilah-istilah lain selain cahaya yang dijabarkan secara panjang lebar, seperti misykât, mishbâh, zujâjah dll, secara relatif singkat, tetapi sangat penting dan mengesankan. Bagi al-Ghazâlî, istilah-istilah di atas, yakni, misykât, mishbâh, zujâjah, syajarah mubârakah, al-zayt, merujuk kepada lima daya-daya ruhani manusia yang bercahaya (al-arwâh al-basyariyyah al-nuraniyyah),[12] yaitu jiwa indrawi (hissî), imajinasi (khayâlî), daya rasional (‘aqlî), daya reflektif (fikrî), dan (qudsî/nabawî). Dan seperti yang akan dijabarkan, penafsiran sufistik atas mereka dilakukan dengan menarik paralelisme di antara keduanya.

Marilah kita mulai dengan yang pertama, misykât. Al-Ghazâlî menafsirkan misykât sebagai daya-daya inderawi (al-rûh al-hisas), karena kalau kita perhatikan karakteristik daya jiwa ini, maka kita akan mendapatkan cahayanya keluar dari berbagai lobang, seperti dua mata, dua telinga, dua lubang hidung dan sebagainya. Karena itu menurut beliau, perumpamaan yang paling cocok dengan daya spiritual pada dunia lahiriah ini adalah ceruk atau misykât.[13] Daya ini adalah yang dapat menerima apa yang diberikan oleh panca-indera, dan ini dipandang sebagai akar dan penampakan pertama jiwa hewani, karena melalui inilah maka hewan menjadi hewan.

Beralih kepada mishbâh, al-Ghazâlî menyamakannya dengan daya rasional (al-rûh al-‘aqlî), di mana persepsi terhadap pengetahuan yang mulia dan ilahi terjadi. Perumpamaan daya akliah dengan lampu ini menjadi jelas, karena ia bisa menyebarkan cahayanya yang terang ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana matahari yang memancarkan cahaya terangnya ke seluruh dunia, sehingga disebutnya “lampu-lampu yang memberi cahaya” (al-sirâj al-munîr), yang pernah dijadikan sebagai julukan bagi para Nabi.

Adapun zujâjah (kaca) ia tafsirkan sebagai daya jiwa yang disebut imaginal (al-rûh al-khayâlî), yang dipandang memiliki 3 (tiga) karakteristik atau ciri yang menyerupai kaca. Pertama, seperti kaca daya imaginasi masih terkait dengan, atau berasal dari, materi dunia rendah yang padat, karena benda-benda yang dikhayalkan memiliki ukuran, bentuk dan arah, dan juga jarak. Kedua, ketika imaginasi yang masih pekat ini dimurnikan, dihaluskan dan digosok, ia menjadi setara dengan makna-makna dan titik-titik rasional yang mengarah pada cahaya mereka. Imajinasi yang telah mencapai tingkat ini tidak akan merintangi cahaya yang datang dari lampu (mishbâh), yakni daya-daya rasional. Karakteristik yang ketiga adalah pada mulanya imajinasi sangat dibutuhkan, karena melalui inilah seseorang dapat menyusun pengetahuan rasionalnya sehingga tidak terombang-ambing, tergoncang atau berserakan.[14] Ketiga ciri ini, menurut pandangan alGhazali, dapat ditemukan perumpamaannya di dunia lahir, hanya dalam kaca. Meski pada awalnya, kaca terbuat dari bahan yang pekat, tetapi sekali dimurnikan dan dibuat terang, maka ia tidak menghalangi cahaya sang lampu, bahkan ia mampu merambatkan cahaya tersebut dengan cara yang baik. Selain itu, ia juga memelihara cahaya dari terpaan angin kencang atau gerakan kasar yang bisa mematikannya.

Beralih kemudian pada “pohon yang diberkati” (syajarah mubârakah), al-Ghazâlî menyamakannya dengan jiwa reflektif (al-rûh al-fikrî). Seperti pohon, jiwa reflektif dimulai dengan sebatang akar dan kemudian muncullah darinya cabang-cabang, dan dari masing-masing cabang tumbuh dua cabang lainnya, dan dari tiap cabang tersebut tumbuh lagi dua cabang demikian seterusnya sehingga cabang-cabang ilmu rasional menjadi banyak.[15] Tetapi mengapa kemudian pohon yang diberkati tersebut disebut zaitun. Menurut al-Ghazâlî, pohon zaitun adalah istimewa, karena intisari dari buahnya adalah minyak zaitun, yang bisa dijadikan minyak bagi lampu. Sedangkan disebut diberkati (mubarakah) adalah karena dalam masyarakat Arab, ketika hewan piaraan atau pohon menghasilkan banyak turunan atau buah, maka mereka disebut “diberkati.” Karena itu akan lebih pantas untuk menyebut pohon yang buahnya tidak mengenal batas (daya reflektif manusia) dengan “pohon yang diberkati.” Sedangkan disebut “tidak Timur dan tidak juga Barat (lâ syarqiyyatan wa-lâ gharbiyyatan) adalah karena pemikiran-pemikiran murni rasional tidak bisa dikatakan memiliki arah, atau jarak dekat atau jauh,[16] dan karena itu tidak pantas untuk disebut Timur atau Barat.

Terakhir, minyak zaitun yang akan menyala sekalipun tidak disentuh api (yakâdu zaitu-hû yudhî’u wa-law lam tamsashu nâr), menurut al-Ghazâlî, merujuk pada daya-daya suci/kenabian, yang dinisbatkan kepada para wali ketika ia mencapai tingkatnya yang paling mulia dan murni. Daya reflektif terbagi kepada dua jenis; pertama, yang membutuhkan pengajaran, penyadaran dan bantuan dari luar, sehingga ia dapat terus mengambil bagian dari banyak jenis ilmu pengetahuan. Jenis kedua, karena memiliki kemurniannya yang begitu intens. Ia tersadarkan dengan sedirinya tanpa bantuan dari luar. Yang terakhir inilah yang pantas disebut “minyak yang akan menyala sekalipun tidak tersentuh api.”[17] Begitu intensnya kemurnian mereka, sehingga di antara para wali, menurut al-Ghazâlî, ada yang cahayanya bersinar demikian intensnya sehingga bisa terlepas dari bantuan Nabi, sebagaimana di antara para Nabi ada yang dapat terlepas dari bantuan malaikat. Tetapi kalau minyak tersebut disulut api, maka inilah yang disebut dalam ayat di atas “nûr ‘alâ nûr” (cahaya di atas cahaya).[18]

Dengan ini jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan “cahaya” dalam ayat “Allah akan membimbing dengan cahayanya, siapa yang dikehendaki,” bukan hanya berupa agama, sebagaimana yang sering dipikirkan, tetapi juga juga melipuri semua daya-daya jiwa yang dimiliki manusia, seperti indera, akal, imajinasi, daya fikir, dan intuisi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah membimbing manusia melalui indera, akal, imajinasi, dan hati atau intuisi. Karena itu kalau kita ingin mendapat bimbingan dari Allah, kita harus menggunakan daya-daya tersebut sebaik-baiknya.

Metode Tafsir Sufistik

Dalam bagian akhir ini saya ingin menyinggung sedikit berkenaan dengan metode tafsir sufistik yang digunakan al-Ghazâlî dalam karya ini. Setidaknya al-Ghazâlî telah meluaskan, melalui karyanya ini, wawasan kita tentang tafsir, yang selama ini cenderung hanya kepada tafsir lahiriyah saja. Al-Ghazâlî, dengan ini, ingin mengatakan bahwa selain makna lahiriyah, al-Qur’ân juga perlu ditafsirkan secara batiniyah. Karena menurut beliau Nabi pernah bersabda bahwasanya “al-Qur’ân memiliki makna lahir dan batin, batas dan tempat mendaki (al-mathla’).”[19] Kalau kita hanya menafsirkannya secara lahiriah, maka kita akan menjadi kaum literalis, dan ini tidak cukup. Demikian juga kalau kita hanya memakai makna batiniah, kita akan menjadi kaum batini, yang juga tidak ia sukai. Adapun jalan yang benar adalah yang memperhatikan kedua makna tersebut.

Kalau kita simak tafsir Misykât al-Anwâr, tentau kita tahu bahwa ia adalah tafsir batini. Tetapi al-Ghazâlî meminta kita untuk tidak beranggapan bahwa ia memperbolehkan penghapusan makna lahiriah sehingga ia akan berkata, misalnya, bahwa Nabi Musa tidak punya dua terompah dan bahwa ia tidak mendengar Tuhan yang memerintahkannya untuk melepas kedua teropahnya. Tidak, itu terlarang! Yang benar, menurut al-Ghazâlî adalah, “dengan perintah melepaskan dua terompah, Musa memahaminya sebagai melepaskan dua dunia. Dengan begitu Musa melaksanakan perintah tersebut, secara lahiriah dengan melepaskan terompah yang digunakannya, dan secara batiniah dengan melepaskan dua dunia tersebut. Inilah yang disebut “crossing over” yakni menyeberang dari yang satu kepada yang lain dari makna lahir ke rahasia.[20] Dengan demikian ia tidak meninggalkan kedua makna dari ayat tersebut. Mengambil hanya makna batinnya saja, adalah seperti kaum Batiniyah dengan hanya satu mata dan bisa melihat hanya satu dari dua dunia tanpa mengakui kesejajaran antara keduanya atau memahami maknanya. Demikian juga sama kelirunya mereka yang menafikan makna batin al-Qur’ân, seperti kaum zhahiri. Yang sempurna adalah yang menggabungkan kedua makna tersebut.

Selain terhadap ayat Qur’an, tafsir sufistik juga bisa diterapkan pada hadits Nabi. Al-Ghazâlî sendiri memberi contoh sebagai berikut. Orang-orang berbeda pendapat, demikian al-Ghazâlî menulis, ketika mendengar sabda Nabi yang berbunyi. “Malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada seekor anjing” tetapi membawa masuk anjing ke dalam rumahnya. Ia berkata: “Makna lahiriah bukan yang dimaksud. Tetapi yang dimaksud adalah singkirkan anjing kemarahan dari rumah hatimu, karena ia akan mencegah masuknya pengetahuan, yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat, karena kemarahan adalah roh jahat (ghaul) dari daya rasional. Seseorang mengambil makna lahiriahnya, maka ia berkata kepadanya: “Anjing bukan menjadi anjing karena bentuk luarnya, tetapi karena esensinya, yaitu sifat memangsa dan keganasannya. Jika kita perlu menjaga rumah kita, yang merupakan tempat beristirahat seseorang dan tubuh, dari bentuk anjing, maka akan lebih perlu lagi untuk menjaga rumah hati –tempat bertirahnya substansi sejati khas manusia– dari kejahatan yang serupa dengan anjing.” Dengan demikian, “saya,” kata al-Ghazâlî, “telah menggabungkan makna yang lahir dan makna batinnya.”[21]

Catatan terakhir berkenaan dengan penafsiran sufistik ini adalah pengetahuan apa yang melatar-belakangi penafsirannya itu. Tentu saja sebelum menafsirkan ayat “cahaya” di atas, al-Ghazâlî harus telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang daya-daya jiwa yang disebutnya “al-arwâh al-basyariyyah al-nûriyyah.” Dan kalau dilihat dari deskripsinya, boleh jadi bahwa ia telah banyak belajar dari teori-teori psikologi yang telah berkembang sebelumnya, khususnya oleh para filosof, seperti Ibn Sina dalam al-Syifa’ atau al-Najah, dan sumber-sumber lain yang lebih bersifat sufiistik. Dengan demikian kita bisa belajar dari sini, bahwa penafsiran al-Qur’ân, apakah itu bersifat konvensional, sufistik atau filosofis, banyak tergantung pada perkembangan ilmiah pada masanya. Dan kalau al-Ghazâlî bisa menafsirkannya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, maka kemungkinan itu juga bisa kita miliki oleh orang-orang pada masa ini dan di masa yang akan datang, mengikuti irama perkembangan ilmu pengetahuan.[]

[1]Tulisan ini didasarkan pada Kitab Misykât al-Anwâr, karangan al-Ghazâlî, yang diedit dan diterjemahkan oleh David Buchman. Muhammad al- Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, (Provo, Utah: Brigham Young University Press, 1998), ed. David Buchman.

[2]Dikatakan misalnya bahwa Suhrawardi sangat menyukai Misykât al-Anwâr, sehingga ia dikatakan telah menerjemahkannya ke bahasa Persia. Dan bukan suatu kebetulan bahwa dalam bukunya Hikmat al-Isyrâq, Suhrawardi menggunakan simbolisme cahaya sebagai dasar bagi filsafatnya.

[3]Lihat al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 1.

[4]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 1.

[5]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 6.

[6]Lihat Montgomery Watt, “A Forgery in al-Ghazâlî’s Mishkat,” dalam Juornal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Irland, 194, h. 5-22.

[7]Misalnya, konsep al-Ghazâlî tentang khayal, sebagai daya retentif, yang merekam gambar fisik sebuah benda, setelah benda itu tidak ada. Ini sangat mirip dengan apa yang dikatakan Ibn Sina di dalam Kitâb al-Najâh-nya. Lihat Ibn Sina, Kitâb al-Najâh, Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdiyah, 1985, h. 201.

[8]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 44.

[9]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 4.

[10]Ada contoh yang menarik tentang hirarki cahaya ini yang diberikan al-Ghazâlî. Misalnya cahaya yang kita terima dari bulan, tetapi yang terpantul lewat tembok. Cahaya yang berasal dari tembok, tentu tidak akan begitu terang, dibandingkan dengan cahaya yang dipantulkan oleh kaca kepada tembok itu. Demikian juga cahaya cermin yang dipantulkan ke tembok, tidak akan seintensif cahaya bulan yang dipancarkan kepada cermin tersebut. Namun cahaya bulanpun, kata al-Ghazâlî, tidak akan seintensif cahaya matahari yang dipancarkan ke bulan. Lihat Misykât al-Anwâr, h.14.

[11]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 3.

[12]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 36.

[13]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 39.

[14]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 39.

[15]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 40.

[16]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 40.

[17]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 41.

[18]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 13.

[19]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 32

[20]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 32.

[21]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 33.

Categories: Uncategorized